Jumat, 26 Juni 2015

5 Pembunuh Berantai Paling Sadis di Jepang

Kini Jepang boleh saja dikenal sebagai salah satu dari negara teraman dan terdamai di dunia, dengan tingkat kriminalitas yang sangat rendah. Namun negara Matahari Terbit ini ternyata menyimpan sejarah kelam para pembunuh berantai yang tak hanya unik, namun juga sangat mengerikan dalam hal modus operandinya. Tak jarang, sepak terjang mereka bagaikan sebuah naskah film slasher Hollywood.
Berikut adalah 5 Pembunuh Berantai Paling Sadis di Jepang, seperti dikutip dari paling-unik.com.

1. The Otaku Killer

Otaku di berbagai belahan lain, termasuk Indonesia, mungkin terdengar seperti istilah yang netral. Otaku berarti penggemar fanatik dari berbagai produk Jepang, seperti manga, anime, hingga video games. Namun di negara asalnya sendiri, istilah otaku didefinisikan negatif. Bahkan para otaku sendiri seringkali didiskriminasikan oleh masyarakat Jepang. Alasannya, pembunuhan berantai sadis yang dilakukan oleh Tsutomu Miyazaki atau yang lebih dikenal dengan julukan Otaku Killer.
Tsutomu Miyazaki lahir di Saitama, Tokyo pada 21 Agustus 1962. Ia tak hanya pembunuh berantai, namun juga kanibal dan penderita nekrofilia. Miyazaki lahir dengan cacat fisik akibat lahir prematur, yakni telapak tangan dan jari-jarinya menyatu. Cacat lahiriah inilah yang menyebabkan ia tumbuh menjadi anak yang pendiam dan pemalu. Kita hanya bisa membayangkan, perlakukan semacam apa yang diterimanya dari teman-temannya dengan fisik seperti itu.
Ia mendapat penolakan dari kedua orang tuanya dan kedua saudara perempuannya. Satu-satunya yang menyayanginya dengan tulus hanyalah sang kakek. Namun ketika kakeknya meninggal pada 1988, ia menjadi depresi, bahkan memakan sebagian abu kremasi sang kakek. Pada masa inilah, ia mulai melakukan pembunuhan berantai.
Korban pertamanya adalah Mari Konno, seorang gadis berusia 4 tahun yang ia culik tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke-26. Ia membunuh gadis itu lalu membuang mayatnya, namun dia kembali setelah mayat gadis itu membusuk untuk mengambil tangan dan kakinya untuk disimpan sebagai trofi yang kemudian ia simpan di dalam lemari. Korban kedua adalah Masami Yoshizawa (7 tahun) yang juga ia culik dan ia bunuh di tempat yang sama ia membunuh Mari.
Ia kemudian menculik Erika Namba (4 tahun) dan membunuhnya. Namun aksi tersadis ia lakukan pada korban terakhirnya, Ayako Nomoto (5 tahun) yang tak hanya ia bunuh, namun juga ia mutilasi. Sama seperti korban pertamanya, Tsutomu juga menyimpan potongan tangannya. Namun tak hanya itu. Ia juga meminum darah gadis itu serta memakan dagingnya.
Pada Juli 1989, aksi Miyazaki akhirnya usai ketika polisi menangkapnya atas tuduhan pelecehan seksual pada gadis di bawah umur. Ketika menyelidiki apartemennya, polisi menemukan bukti atas segala kejahatannya, juga ribuan materi berupa kaset anime serta manga, khususnya manga porno atau hentai. Inilah yang menyebabkan media mengutuknya sebagai Otaku Killer dengan beralasan kebiasaan membaca mangalah yang membuatnya menjadi pembunuh berantai.
Salah satu ciri khas menakutkan dari pembunuh berantai ini, melalui pengakuan para keluarga korban, adalah ia seringkali menelepon keluarga korban. Ketika diangkat, Miyazaki hanya diam tanpa mengatakan sepatah katapun. Jika tidak diangkat, maka telepon akan terus berbunyi hingga 20 menit tanpa henti.
Selama jalannya pengadilan, Miyazaki terus menyalahkan alter egonya (ia sepertinya memiliki kepribadian ganda) bernama Rat Man yang melakukan pembunuhan itu. Ia bahkan menggambar Rat Man dalam bentuk manga. Ayah Miyazaki menolak untuk membayar pengacara untuk membela anaknya dan Pada 1997, Miyazaki dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi dengan cara digantung pada 2008.

2. Osaka School Massacre

Mamoru Takuma merupakan pembunuh yang bertanggung jawab atas tragedi “Osaka School Massacre” yang menewaskan 8 anak dan melukai 15 lainnya. Ia lahir pada 23 November 1963 di Osaka dan semenjak kecil telah menunjukkan gejala “Macdonalds Triad”, yakni 3 kebiasaan yang ditampakkan oleh seseorang yang berpotensi menjadi pembunuh berantai pada usia kecil. Tiga gejala itu adalah Kekejaman pada binatang, Kegemaran membakar benda, dan Eneuresis (kebiasaan mengompol di usia di atas 5 tahun).
Mamoru sejak usia dini sudah menunjukkan perilaku psikopat. Pada usia 12 tahun, ia gemar membunuh kucing dengan membungkusnya dengan koran lalu membakarnya. Saat SMU, ia menyerang gurunya sendiri dan membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Ia juga berkelahi dengan ayahnya, membuat ayahnya kemudian mengirimnya ke RSJ. Namun pihak RSJ tak mau menerimanya dan sang ayah kemudian tak mengakui Mamoru sebagai anaknya.
Ia sempat bekerja di perusahaan taksi bahkan sempat diterima di Angkatan Udara, namun ia dikeluarkan karena masalah kekerasan dan pelecehan seksual. Mamoru menikah selama 4 kali dan keluar masuk penjara. Terakhir, ia bekerja sebagai janitor (tukang bersih) di sebuah sekolah sebelum akhirnya membuat masalah kembali dengan meracuni 4 guru.
Ia kemudian dimasukkan ke RSJ dengan diagnosis menderita skizofrenia. Di RSJ ia sempat berusaha untuk bunuh diri, namun gagal. Setelah sebulan, ia dikeluarkan dengan alasan “mampu mengurus dirinya sendiri”. Pada 2001, sebulan sebelum ia melancarkan aksinya, ia sempat secara sukarela mendaftarkan diri ke RSJ untuk mencari bantuan atas depresi yang ia alami. Namun sehari kemudian ia melarikan diri.
Pada Juni 2001, ia akhirnya lepas kendali dan mengamuk. Dengan bersenjatakan sebilah pisau, ia menyerang Ikeda Elementary School dan menusuk mati 8 anak-anak kelas 1 dan 2 SD serta melukai 13 anak lain dan 2 guru. Peristiwa ini dilihat dari jumlah korbannya, merupakan tragedi terbesar kedua yang pernah menimpa Jepang modern setelah insiden penyerangan gas sarin oleh Aum Shirikyo.
Uniknya, peristiwa ini mengundang simpati popstar Jepang Utada Hikaru yang menggubah lagunya “Final Distance” untuk menghormati salah satu korban yang merupakan fans beratnya. Ketika ditangkap, Mamoru dalam keadaan sangat bingung. Ia tak menyadari bahwa ia menyerang sekolah dan terus mengatakan “Aku tidak menyerang sekolah dasar. Aku pergi ke stasiun kereta dan menusuk 100 orang. Aku tak pernah pergi ke sekolah dasar.”
Ketika persidangan pun ia sama sekali tak membela diri, bahkan meminta hakim untuk segera mengeksekusi dirinya dengan mengatakan “Aku sudah menjadi jijik terhadap semua ini. Aku mencoba membunuh diriku beberapa kali, namun tidak bisa. Kumohon, hukum mati saja aku.” Walaupun didiagnosis menderita berbagai kelainan jiwa seperti perilaku antisosial dan paranoid, ia akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung pada 2004.

3. Akihabara Massacre

Tepat 7 tahun setelah tragedi Osaka School Massacre, tragedi serupa terjadi di pusat perbelanjaan Akihabara, Tokyo yang amat terkenal sebagai pusat manga dan anime. Lagi lagi, kasus ini dianggap berhubungan dengan stigma negatif otaku di masyarakat Jepang. Pada Minggu, 8 Juni 2008, Tomohiro Kato mengendarai mobil sewaan dan menabrak 5 pejalan kaki di pusat perbelanjaan Akihabara, menewaskan 3 di antaranya.
Ia kemudian turun dari mobil dan dengan berbekal sebilah pisau, menusuk 12 pejalan kaki satu demi satu, menewaskan 4 di antaranya. Tragedi ini membuat publik Jepang terhenyak. Situasi di kala itu sangat kacau hingga dibutuhkan 17 ambulans yang berlalu lalang untuk menyelamatkan para korban.
Tomohiro sendiri lahir pada 28 September 1982 di Aomori, Honshu dan semula dikenal sebagai siswa berprestasi di SD dan SMP. Namun situasi berbalik 180 derajat ketika ia masuk Aomori High School yang merupakan sekolah elite. Di sana ia menjadi rendah diri karena menjadi siswa yang kurang populer. Prestasinya anjlok drastis menjadi peringkat 300 dari 360 siswa. Akibatnya, ia gagal masuk ke Hokkaido University yang bergengsi dan akhirnya hanya bekerja di sebuah pabrik.
Menjadi anak seorang top manager di perusahaan perbankan membuat Tomohiro mendapat tekanan yang luar biasa berat dari orang tuanya untuk menjadi siswa terbaik. Bahkan orang tuanya pernah menghukumnya dengan menyuruhnya memakan sisa makanan yang terjatuh di lantai. Tetangganya juga bersaksi orang tuanya pernah menghukumnya dengan membiarkannya berdiri di luar rumah di tengah musim dingin yang menggigil. Pada 2006, ia mencoba bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya, namun gagal.
Tiga hari sebelum serangan, ia mengalami perselisihan dengan teman kerjanya yang ia tuduh menyembunyikan baju kerjanya. Ia pulang cepat setelah insiden tersebut dan diduga kejadian tersebutlah yang memicu pembantaian Akihabara. Yang mengkhawatirkan, beberapa saat setelah peristiwa itu, mulai muncul pembunuhan copycat yang meniru insiden tersebut.
Pada bulan yang sama, seorang pria mengancam akan mengulang tragedi itu di Tokyo Disneyland. Tomohiro sendiri kini masih hidup, menunggu hukuman mati yang telah dijatuhkan padanya. Pada 2014, saudara laki-laki Tomohiro yang berusia 28 tahun memutuskan bunuh diri karena rasa malu. Kasus Tomohiro kembali menuai stigma negatif pada para otaku. Diduga budaya otaku telah menyebabkan anak muda Jepang menjadi berperilaku negatif dan antisosial.

4. Kobe Child Murders

Pada pagi 27 Mei 1997, potongan kepala Jun Hase, seorang murid di Tainohata Elementary School ditemukan di gerbang sekolahnya. Kepalanya dimutilasi dengan gergaji dan di dalam mulutnya disumpalkan sebuah surat misterius yang ditulis dengan tinta merah. Pembunuhnya, yang mengaku bernama “Sakakibara” menulis:
“Ini adalah permulaan dari sebuah permainan. Kalian para polisi coba saja menghentikanku jika kalian bisa. Aku sangat ingin melhat orang-orang mati, sangat menegangkan bagiku untuk melakukan pembunuhan. Sebuah pembalasan berdarah setimpal dengan penderitaanku selama bertahun-tahun.”
Siapa pelakunya? Secara mengejutkan, polisi menangkap seorang anak berusia 14 tahun (setara dengan siswa kelas 2 SMP) yang tak dipublikasikan identitasnya dan hanya disebut sebagai “Boy A”. Ia ternyata juga mengaku telah membunuh seorang gadis berusia 10 tahun bernama Ayaka Yamashita pada 16 Maret dan menulis dalam buku hariannya,
” Aku mengadakan eksperimen hari ini untuk membuktikan betapa rapuhnya manusia itu, aku memukulnya dengan palu, ketika gadis itu menoleh kepadaku. Aku pikir aku memukulnya berkali-kali namun aku terlalu asyik untuk mengingat berapa kali aku memukulnya”
Kejadian ini sangat mengguncang publik Jepang. Walaupun kejahatan yang dilakukannya sangat serius, “Boy A” tak dijatuhi hukuman mati karena masih di bawah umur. Pada Maret 2004, diumumkan bahwa ia yang saat itu telah berumur 21 tahun, dibebaskan karena telah menjalani seluruh masa hukumannya. Namun baru tiga bulan setelah pembebasannya, kasus mengerikan serupa kembali terjadi dan membuat shock masyarakat Jepang.

5. Tsuyama Massacre

Pernah melihat serial “Harper’s Island” yang menceritakan pembunuh berantai yang beraksi membantai warga sebuah pulau? Kisah ini ternyata pernah terjadi di dunia nyata. Kisah hampir serupa terjadi pada 21 Mei 1938 di sebuah desa bernama Kaio, tak jauh dari kota Tsuyama di wilayah Okayama, Jepang.
Pada malam itu, seorang pria berumur 21 tahun bernama Mutsuo Toi memadamkan listrik di desanya dan di tengah kegelapan, ia membantai 30 penduduk desa secara satu-persatu menggunakan berbagai senjata, mulai dengan senapan, kapak, hingga pedang samurai. Salah satu yang ia habisi adalah neneknya sendiri. Ia membunuh hampir separuh dari penduduk desa tersebut dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri menjelang fajar.


Sumber : Terselubung